ERA MANAJEMEN ILMIAH
Era ini ditandai dengan berkembangan
perkembangan ilmu manajemen dari kalangan insinyur—seperti Henry
Towne, Frederick Winslow
Taylor, Frederick
A. Halsey, dan Harrington
Emerson[9] Manajemen ilmiah, atau dalam bahasa
Inggris disebut scientific management, dipopulerkan oleh Frederick Winslow
Taylor dalam bukunya yang berjudul Principles of Scientific Management pada
tahun 1911. Dalam bukunya itu, Taylor mendeskripsikan
manajemen ilmiah adalah "penggunaan metode ilmiah untuk menentukan cara
terbaik dalam menyelesaikan suatu pekerjaan." Beberapa penulis seperti
Stephen Robbins menganggap tahun terbitnya buku ini sebagai tahun lahirya teori
manajemen modern.[2]
Henry Gantt yang pernah bekerja bersama Taylor di
Midvale Steel Company menggagas ide bahwa seharusnya seorang mampu mandor
memberi pendidikan kepada karyawannya untuk bersifat rajin (industrious
) dan kooperatif. Ia juga mendesain sebuah grafik untuk membantu manajemen yang
disebut sebagai Gantt
chart yang digunakan untuk merancang dan mengontrol pekerjaan.
Manajemen ilmiah kemudian dikembangkan
lebih jauh oleh pasangan suami-istri Frank
dan Lillian Gilbreth.
Keluarga Gilbreth berhasil menciptakan micromotion yang dapat mencatat
setiap gerakan yang dilakukan oleh pekerja dan lamanya waktu yang dihabiskan
untuk melakukan setiap gerakan tersebut.[9]
Era ini juga ditandai dengan hadirnya
teori administratif, yaitu teori mengenai apa yang dilakukan oleh para manajer
dan bagaimana cara membentuk praktik manajemen yang baik.[9] Pada awal abad ke-20, seorang
industriawan Perancis bernama Henry Fayol mengajukan gagasan lima fungsi utama
manajemen: merancang, mengorganisasi, memerintah, mengoordinasi, dan
mengendalikan.[10] Gagasan Fayol itu kemudian mulai
digunakan sebagai kerangka kerja buku ajar ilmu manajemen pada pertengahan
tahun 1950, dan terus berlangsung hingga sekarang.[2] Selain itu, Henry Fayol juga mengagas 14 prinsip manajemen yang merupakan dasar-dasar
dan nilai yang menjadi inti dari keberhasilan sebuah manajemen.
Sumbangan penting lainnya datang dari ahli sosilogi Jerman Max Weber. Weber
menggambarkan suatu tipe ideal organisasi yang disebut sebagai birokrasi—bentuk
organisasi yang dicirikan oleh pembagian kerja, hierarki yang didefinisikan
dengan jelas, peraturan dan ketetapan yang rinci, dan sejumlah hubungan yang
impersonal. Namun, Weber menyadari bahwa bentuk "birokrasi yang
ideal" itu tidak ada dalam realita. Dia menggambarkan tipe organisasi
tersebut dengan maksud menjadikannya sebagai landasan untuk berteori tentang
bagaimana pekerjaan dapat dilakukan dalam kelompok besar. Teorinya tersebut
menjadi contoh desain struktural bagi banyak organisasi besar sekarang ini.[2]
Perkembangan selanjutnya terjadi pada
tahun 1940-an ketika Patrick
Blackett melahirkan ilmu riset operasi, yang merupakan kombinasi dari
teori statistika dengan teori mikroekonomi. Riset operasi, sering dikenal
dengan "Sains Manajemen", mencoba pendekatan sains untuk
menyelesaikan masalah dalam manajemen, khususnya di bidang logistik dan operasi. Pada tahun 1946,
Peter F. Drucker—sering disebut sebagai Bapak
Ilmu Manajemen—menerbitkan salah satu buku paling awal tentang manajemen
terapan: "Konsep Korporasi" (Concept of the Corporation). Buku
ini muncul atas ide Alfred
Sloan (chairman dari General Motors) yang menugaskan penelitian
tentang organisasi.[11]
Era manusia sosial
Era manusia sosial ditandai dengan
lahirnya mahzab perilaku (behavioral school) dalam pemikiran manajemen
di akhir era manajemen ilmiah. Mahzab perilaku tidak mendapatkan pengakuan luas
sampai tahun 1930-an. Katalis utama dari kelahiran mahzab perilaku adalah
serangkaian studi penelitian yang dikenal sebagai eksperimen
Hawthrone.
Eksperimen Hawthrone dilakukan pada
tahun 1920-an hingga 1930-an di Pabrik Hawthrone milik Western Electric Company Works di Cicero,
Illenois.[2]. Kajian ini awalnya bertujuan
mempelajari pengaruh berbagai macam tingkat penerangan lampu terhadap
produktivitas kerja. Hasil kajian mengindikasikan bahwa ternyata insentif
seperti jabatan, lama jam kerja, periode istirahat, maupun upah lebih sedikit
pengaruhnya terhadap output pekerja dibandingkan dengan tekanan kelompok,
penerimaan kelompok, serta rasa aman yang menyertainya. Peneliti menyimpulkan
bahwa norma-norma sosial atau standar kelompok merupakan penentu utama perilaku
kerja individu.[9]
Kontribusi lainnya datang dari Mary Parker Follet.
Follett (1868–1933) yang mendapatkan pendidikan di bidang filosofi dan ilmu
politik menjadi terkenal setelah menerbitkan buku berjudul Creative
Experience pada tahun 1924.[9] Follet mengajukan suatu filosifi bisnis
yang mengutamakan integrasi sebagai cara untuk mengurangi konflik tanpa kompromi
atau dominasi. Follet juga percaya bahwa tugas seorang
pemimpin adalah untuk menentukan tujuan organisasi dan mengintegrasikannya
dengan tujuan individu dan tujuan kelompok. Dengan kata lain, ia berpikir bahwa
organisasi harus didasarkan pada etika kelompok daripada individualisme. Dengan
demikian, manajer dan karyawan seharusnya memandang diri mereka sebagai mitra,
bukan lawan.
Pada tahun 1938, Chester Barnard
(1886–1961) menulis buku berjudul The Functions of the Executive yang
menggambarkan sebuah teori organisasi dalam rangka untuk merangsang orang lain
memeriksa sifat sistem koperasi. Melihat perbedaan antara motif pribadi dan
organisasi, Barnard menjelaskan dikotonomi "efektif-efisien".
Menurut Barnard, efektivitas berkaitan
dengan pencapaian tujuan, dan efisiensi adalah sejauh mana motif-motif individu
dapat terpuaskan. Dia memandang organisasi formal sebagai sistem terpadu di
mana kerjasama, tujuan bersama, dan komunikasi merupakan elemen universal,
sementara pada organisasi informal, komunikasi, kekompakan, dan pemeliharaan
perasaan harga diri lebih diutamakan. Barnard juga mengembangkan teori
"penerimaan otoritas" didasarkan pada gagasan bahwa bos hanya
memiliki kewenangan jika bawahan menerima otoritas itu.
Era moderen
Era moderen ditandai dengan hadirnya
konsep manajemen kualitas
total (total quality management—TQM) di abad ke-20 yang
diperkenalkan oleh beberapa guru manajemen, yang paling terkenal di antaranya
W. Edwards Deming (1900–1993) and Joseph Juran (lahir 1904).
Deming, orang Amerika, dianggap sebagai Bapak Kontrol
Kualitas di Jepang.[9] Deming berpendapat bahwa kebanyakan
permasalahan dalam kualitas bukan berasal dari kesalahan pekerja, melainkan
sistemnya. Ia menekankan pentingnya meningatkan kualitas dengan mengajukan
teori lima langkah reaksi berantai. Ia berpendapat bila kualitas dapat
ditingkatkan, (1) biaya akan berkurang karena berkurangnya biaya perbaikan,
sedikitnya kesalahan, minimnya penundaan, dan pemanfaatan yang lebih baik atas
waktu dan material; (2) produktivitas meningkat; (3) market share meningkat
karena peningkatan kualitas dan harga; (4) profitabilitas perusahaan peningkat
sehingga dapat bertahan dalam bisnis; (5) jumlah pekerjaan meningkat. Deming
mengembangkan 14 poin rencana untuk meringkas pengajarannya tentang peningkatan
kualitas.
Kontribusi kedua datang dari Joseph
Juran.[9] Ia menyatakan bahwa 80 persen cacat
disebabkan karena faktor-faktor yang sebenarnya dapat dikontrol oleh manajemen.
Ia merujuk pada "prinsip pareto."
Dari teorinya, ia mengembangkan trilogi manajemen yang memasukkan perencanaan,
kontrol, dan peningkatan kualitas. Juran mengusulkan manajemen untuk memilih
satu area yang mengalami kontrol kualitas yang buruk. Area tersebut kemudian
dianalisis, kemudian dibuat solusi, dan diimplementasikan.
SUMBER : http://id.wikipedia.org/wiki/Manajemen
Tidak ada komentar:
Posting Komentar