Bagi
Anda yang telah mengambil kredit rumah (KPR) namun akhirnya tidak mampu bayar
karena dipecat dari perusahaan tempat Anda bekerja, tak perlu khawatir.
Pasalnya,
kredit KPR yang tersendat tersebut akan menjadi tanggungan asuransi perumahan.
Kebijakan ini baru bisa direalisasikan tahun depan.
Kebijakan
ini merupakan Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP), yakni dalam tiga rancangan
peraturan pemerintah turunan dari UU No 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan
Pemukiman yang akan keluar tahun depan. Salah satu poin-nya adalah soal payung
hukum asuransi perumahan bagi konsumen.
Deputi
Perumahan Formal Kementerian Perumahan Rakyat (Kemenpera) Pangihutan Marpaung
mengatakan, tiga RPP itu sedang dalam tahap penggodokan dan sudah mencapai 75
persen. Tiga PP itu mencakup soal penyelenggaraan perumahan dan kawasan
permukiman, pembinaan perumahan dan pembiayaan.
Dikatakan
Pangihutan Marpaung, PP yang mengatur soal ketentuan asuransi rumah akan diatur
dalam RPP Pembiayaan. Menurutnya ketentuan ini sangat penting demi melindungi
konsumen maupun perbankan.
Pangihutan
mencontohkan saat ini belum ada aturan jika ada konsumen atau nasabah yang
terputusnya sumber penghasilannya tetapi masih punya tanggungan kredit
kepemilikan rumah (KPR) seperti kasus kena PHK.
“Asuransi
perumahan, single premi, sekarang sudah ada. Tapi kalau sekarang ini lebih
karena klaim kebakaran, nantinya ketika ada PHK ditanggung oleh asuransi
(cicilannya),” katanya. Ia menjelaskan, konsep ini berlaku bagi masyarakat umum
yang berpenghasilan tetap yang sedang mengambil kredit rumah.
Namun,
konsumen yang berhak akan dipilih sesuai dengan kreteria batas penghasilan
tertentu, dengan batas tanggungan klaim setidaknya bisa mencapai 2 tahun.
Masih
terkait dengan RPP Pembiayaan Perumahan, nantinya akan diatur soal pembiayaan
perumahan dan kredit konsumsi lainnya akan didorong oleh satu bank saja.
Nantinya seorang yang mengambil kredit konsumsi di satu bank maka harus
mengambil KPR yang sama. Juga akan diatur soal uang muka terkait pinjaman
kredit perumahan PNS, TNI/Polri dan masyarakat umum.
Sementara
itu mengenai RPP Penyelengaraan Perumahan, yang ditunggu-tunggu pengembang
antara lain masalah ketentuan 20 persen terbangun dalam setiap proyek perumahan
akan diatur lebih detil dalam RPP ini. Ketentuan batas minimal pembangunan
rumah sederhana seluas minimal 36 nampaknya akan tak tercapai, penyebabnya
banyak pengembang yang masih menginginkan membangun rumah dengan tipe 22.
“Yang
masih mengganjal soal luas lantai, mereka (pengembang) mintanya 22 m2, padahal
undang-undang minta 36 m2 (minimal). Opsinya akan ada dinding di dalam, tadinya
tipe 36 ada 2 kamar akan menjadi satu kamar atau tanpa kamar,” katanya.
RPP
yang terakhir adalah soal pembinaan perumahan. Dalam aturan ini akan ditetapkan
soal tugas dan kewenangan pemerintah pusat dan pemerintah daerah termasuk dalam
hal insentif perizinan, dalam hal serfifikasi, kemudahan bagi pengembang dan
lain-lain. “Tiga-tiganya harus selesai Januari 2012, sekarang RPP sudah
mencapai 75 persen,” katanya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar